Peta profil wirausaha: Peran Penelitian Global Entrepreneurship Monitor di Indonesia
Menurut pengukuran Global Competitiveness Index yang dilakukan secara tahunan oleh World Economic Forum, Indonesia merupakan negara yang masuk dalam fase tengah atau kedua, atau efficiency driven, dilihat dari tahap perkembangan econominya. Fase efficiency driven adalah kondisi ekonomi dimana negara menjadi lebih kompetitif diikuti dengan kondisi industrialisasi dan peningkatan skala ekonomi serta organisasi intensif modal. Penilaian ini didasarkan pada duabelas pilar fase perkembangan ekonomi, yang dibagi dalam tiga kelompok kondisi, kebutuhan dasar, faktor penguat efisiensi dan inovasi dan keunggulan usaha. Perkembangan ekonomi ini selanjutnya digunakan untuk memetakan berbagai upaya untuk meningkatkan kondisi ekonomi sebuah negara, termasuk untuk penciptaan iklim kewirausahaan di suatu negara.
Kewirausahaan
merupakan sebuah faktor pendorong yang penting dalam penguatan ekonomi
Indonesia. Secara lebih spesifik, dengan banyaknya usaha mikro, kecil dan
menengah (UMKM) di Indonesia, maka UMKM di Indonesia diharapkan mampu memainkan
peran dalam penciptaan lapangan pekerjaan, pengentasan kemiskinan, pertumbuhan
tingkat ekspor dan pemerataan pendapatan penduduk. Namun, pertanyaan lebih
lanjut adalah: apakah UMKM d Indonesia mampu menjalankan peran ini atau secara umum,
apakah kewirausahaan di Indonesia benar-benar mendukung pencapaian tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan ini, pada tahun 2013, Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) melalui Centre ofExcellence in SME Development atau Pusat Studi UKM, Lembaga Penelitian
dan Pengabdian Masyarakat bergabung dengan the Global Entrepreneurship Monitor (GEM). GEM adalah
program penilaian tahunan aktivitas, aspirasi dan perilaku individu dalam berwirausaha di berbagai negara. Dengan kerangka teoritis dan instrumen
penelitian yang sama untuk setiap negara, GEM menilai peran kewirausahaan dalam
pertumbuhan ekonomi nasional.
Secara khusus, Indonesia memiliki
profil kewirausahaan yang menarik. Salah satu tolok ukur yang digunakan oleh
GEM terkait kewirausahaan adalah the total
early-stage entrepreneurial activity (TEA) yang mengukur tingkat
partisipasi dari sebuah negara dalam tahap awal kewirausahaan (wirausaha dini
yang belum mendapatkan profit dan belum menggaji karyawannya dan wirausaha baru
yang usia usahanya tidak lebih dari tiga setengah tahun). Dibandingkan dengan
negara Asia Tenggara lain yang menjadi anggota GEM, Indonesia memiliki tingkat
partisipasi kewirausahaan yang tinggi. Singapura dan Malaysia adalah negara di
Asia Tenggara yang cenderung memiliki angka partisipasi dalam tahap awal
kewirausahaan yang rendah. Namun, jika dilihat dari jumlah tenaga kerja yang
dimiliki oleh para wirausaha dini dan baru (TEA) ini, Indonenesia memiliki
angka keterlibatan yang sangat rendah. Di tahun 2013, rata-rata pegawai yang dimiliki
para wirausaha di tahap awal pendirian usaha di Indonesia adalah 1,26 dan di
tahun 2014 adalah 1,6 orang. Angka keterlibatan yang rendah ini menunjukkan
bahwa mayoritas usaha baru di Indonesia adalah usaha mikro, dan kecenderungan
ini tetap sama untuk usaha yang sudah lebih mapan maupun harapan jangka panjang
dari para wirausaha ini.
Harapan mengenai pertumbuhan jumlah tenaga kerja atau yang yang dalam data GEM disebut aspirasi untuk tumbuh (growth expectation) dinilai melalui persepsi para wirausaha mengenai harapan mereka untuk mau menambah minimum 5 orang pegawai dalam lima tahun ke depan. Penilaian kesediaan untuk menambah minimum 5 tenaga kerja ini diukur dalam persentase growth expectation. Ternyata, harapan tumbuh dari para wirausaha tahap awal di Indonesia sangat rendah (4% di tahun 2013 dan 6% di tahun 2014), dan merupakan persentase yang terendah dibandingkan negara di Asia Tenggara lainnya.
Singapura yang memiliki angka partisipasi kewirausahaan yang relatif rendah memiliki aspirasi untuk tumbuh yang sangat tinggi. Dengan hanya sekitar 11% tingkat partisipasi dalam pembentukan usaha baru (%TEA di tahun 2014), 43% dari para wirausaha tahap awal tersebut mau menambah jumlah tenaga kerjanya minimum sebanyak 5 orang dalam 5 tahun ke depan. Angka aspirasi yang juga rendah dimiliki oleh Filipina.
Kemiripan aspirasi untuk tumbuh
berlaku juga untuk keinginan untuk menjadi wirausaha global. Para wirausaha
tahap awal ini juga ditanyakan apakah memiliki pelanggan di luar negeri,
sebagai tolok ukur aspirasi untuk internasionalisasi. Penilaian mengenai
aspirasi internasionalisasi ini didasarkan pada pertanyaan apakah ada minimum
25% dari pelanggannya berasal dari negara lain. Di tahun 2014, hanya 7,7% dari
wirausaha tahap awal Indonesia yang memiliki minimum 25% pelanggan di luar
Indonesia. Angka ini jauh berbeda dengan Singapura, di mana 37% dari wirausaha
tahap awal mereka yang memiliki minimum 25% pelanggan dari negara lain di luar
Singapura. Namun, angka aspirasi internasionalisasi untuk wirausaha tahap awal
Indonesia cenderung tinggi dibandingkan negara Asia Tenggara lain (Malaysia,
Thailand, Filipina dan Vietnam) yang kisaran angkanya hanya di 1 – 4% saja.
Aspirasi untuk tumbuh maupun untuk
masuk dalam pasar internasional adalah ukuran penting bagi wirausaha Indonesia
untuk mampu lebih memberikan kontribusi pada penguatan ekonomi Indonesia.
Namun, selain kedua aspirasi di atas, tentunya kepuasan hidup dan kondisi kerja
sebagai wirausaha merupakan penilaian penting bagi para wirausaha untuk terus
mau mempertahankan usahanya dan kemudian meningkatkan aspirasi untuk tumbuh dan
berkembang. Di tahun 2013, GEM juga melakukan penilaian atas kualitas hidup,
yang dibagi atas penilaian kepuasan hidup dan kondisi kerja. Penilaian yang
didasarkan pada penilaian skala Likert 1-5 (dari sangat tidak puas dan sangat
puas), hasil menunjukkan bahwa meskipun secara umum penduduk Indonesia memiliki
kepuasan hidup yang tidak lebih tinggi dari negara Asia Tenggara lain, para
wirausaha mapan dan wirausaha dini di Indonesia menilai bahwa mereka memiliki
kepuasan hidup mereka dibandingkan rata-rata orang dewasa lain di Indonesia. Untuk
kondisi kerja yang salah satunya dinilai dengan menilai keseimbangan kehidupan
pribadi dan pekerjaan, para wirausaha Indonesia memiliki penilaian kondisi
kerja yang hampir tidak berbeda dengan orang dewasa lain di Indonesia. Namun,
dengan penilaian yang sama bagi mereka yang berhenti dari kegiatan
kewirausahaan, jasil penilaian mengenai kepuasan hidup dan kondisi kerja
berbeda secara signifikan untuk mereka yang berhenti dari kegiatan
kewirausahaan ini. Hal ini perlu menjadi catatan untuk menghindari rasa kecewa
dan putus asa.
Penilaian di atas ini menunjukkan
bahwa aspirasi kewirausahaan di Indonesia masih perlu ditingkatkan. Untuk
meningkatkan aspirasi untuk tumbuh ataupun untuk masuk ke pasar internasional, para
wirausaha Indonesia masih perlu terus didukung. Penghindaran akan kegagalan
atau berhenti dari aktivitas kewirausahaan perlu dilakukan agar perasaan tidak
puas ataupun kualitas hidup dari orang Indonesia dapat tetap tinggi.
Beberapa data di atas menunjukkan
adanya perbedaan aspirasi kewirausahaan Indonesia dengan Singapura, di mana ada
kontras antara tingkat partisipasi kewirausahaan dan aspirasi untuk tumbuh dan
internasionalisasi. Indonesia memiliki aspirasi yang rendah namun keterlibatan
yang tinggi dan Singapura memiliki tingkat aspirasi yang tinggi namun
keterlibatan yang rendah. Kembali ke fase perkembangan ekonomi, Indonesia ada
di fase kedua (efficiency-driven) dan
Singapura ada di fase ketiga (innovation-driven).
Salah satu pembeda dalam fase perkembangan ekonomi adalah “business
sophistication” atau keunggulan usaha. Hasil penelitian GEM ini mengonfirmasi
penilaian mengenai bagaimana sebuah negara ada dalam fase perkembangan ekonominya
terkait dalam iklim kewirausahaannya. Ada kecenderungan pada negara dengan fase
perkembangan ekonomi lanjut untuk lebih berhati-hati dalam berwirausaha, namun
saat memutuskan untuk menjadi wirausaha, mereka akan cenderung bersikap lebih
ambisius dan menentukan target yang lebih tinggi, baik untuk pasar yang dituju
maupun untuk peningkatan skala usaha yang dimilikinya.
Hal-hal di atas merupakan sebagian
kecil dari hasil penelitian tahunan yang dilakukan oleh UNPAR melalui
konsorsium Global Entrepreneurship Monitor. Data dan laporan hasil penelitian
dapat diperoleh dari website GEM (gemconsortium.org). Penelitian-penelitian
lanjutan telah dilakukan UNPAR untuk mengeksplorasi data ini dan untuk
mendukung penciptaan lingkungan kewirausahaan yang lebih kondusif di Indonesia.
Ditulis oleh: Catharina
Badra Nawangpalupi
Ketua tim Global
Entrepreneurship Monitor Indonesia dan anggota peneliti pada Centre of
Excellence in SME Small and Medium Enterprise Development (CoE SME), Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR).
Untuk informasi lebih lanjut mengenai
GEM dan CoE SME, harap menghubungi lppm@unpar.ac.id
Komentar
Posting Komentar